Minggu, 24 November 2013

Filsafat

FILSAFAT NABI MUSA DAN KHIDIR
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen Pengampu : Dr. Imam Khanafie al-Jauhari, M.Ag

















NAMA : ELSA MULYANI
NIM : 2022112018
KELAS : A











STAIN PEKALONGAN TAHUN 2012
FILSAFAT NABI MUSA DAN KHIDIR

Kisah Nabi Musa dan Khidir a.s.
Allah Swt. tidak menurunkan al-Quran kecuali agar ia menjadi petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa serta obat penyakit hati mereka. Dalam
upaya mencapai petunjuk tersebut, ada beberapa cara yang ditempuh oleh
al-Quran. Ada kalanya melalui hukum, melalui akhlak, melalui keajaiban
dan bahkan ada kalanya melalui cerita.
Harus kita yakini bersama, bahwa kisah yang dituangkan dalam al-Quran
bukanlah kisah biasa. Ia adalah kisah terbaik yang di dalamnya
mengandung pelajaran, bagi orang-orang yang berfikir dan mempergunakan
hatinya untuk mencapai hidayah Allah. Salah satu kisah yang terdapat
dalam al-Quran adalah kisah pertemuan antara nabi Musa As dengan Nabi
Khidir As.
Kisah ini berawal ketika Nabi Musa As. mengajarkan berbagai ilmu kepada
Bani Israil dimana mereka sangat kagum dengan keluasan ilmunya. Saat itu
 ada yang bertanya kepadanya: “Wahai Nabi Allah, adakah di dunia ini
seseorang yang lebih berilmu daripada engkau?” Nabi Musa menjawab:
“Tidak.”
Sebenarnya jawaban ini tidak salah, karena ia didasari pengetahuan yang
ada pada beliau, sekaligus sebagai dorongan agar mereka semakin senang
menimba ilmu darinya. Akan tetapi Allah segera menegur beliau dan
mengabarkannya bahwa masih ada seorang hamba-Nya yang ilmunya lebih
banyak dari nabi Musa As. Ia tinggal di daerah pertemuan dua laut.
Dalam al-Quran surat Al-Kahfi ayat: 60-82 telah dijelaskan sebagai
berikut :
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya): “Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau
aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. Maka tatkala mereka sampai ke
pertemuan dua buah laut itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu
melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan
lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah ke mari makanan
kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”
Muridnya menjawab: “Tahukah anda tatkala kita mencari tempat berlindung
di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu
 dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali
syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh
sekali.” Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami,
yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr:
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.”
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.”
Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang
sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” Dia
berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
 tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu
Khidhir melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu
yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu
telah berbuat kesalahan yang besar.”
Dia (Khidhir) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” Musa berkata:
“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu
membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.”
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan
seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu
bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain
Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.”
Khidhir berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
kamu tidak akan dapat sabar bersamaku.” Musa berkata: “Jika aku bertanya
 kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan
 uzur kepadaku.”
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka
Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya
 kamu mengambil upah untuk itu.”
Khidhir berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat
 sabar terhadapnya.”
Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada
seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu’min,
dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada
 kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).”
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
 ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
 mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu,
sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. al-Kahfi: 60-82).

Meneladani Kisah Nabi Musa dan Khidir :
Pertama, makna kesabaran, kedua, etika/adab mencari ilmu dan ketiga,
pasrah akan perintah Allah.
1. Kata-kata nabi Musa As: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum
sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran: Keteguhan Nabi Musa untuk menambah
ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari
orang yang dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan
kepada kita, bahwa orang yang ingfin mendapatkan ilmu haruslah keluar
dari tempatnya dan mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya.
 Oleh karena itu, Nabi Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh
untuk menuntut ilmu dan merasakan keletihan. Beliau lebih suka
meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing
mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.
2. Firman Allah yang berbunyi: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba
 di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat
dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami,” menjelaskan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada
dua jenis:
Pertama, ilmu yang diperoleh dengan usaha insani (kasbi) secara
bersungguh-sungguh. Kedua, ilmu yang dihasilkan secara langsung oleh
Allah tanpa proses insani terlalu panjang. Ia disebut dengan
ilham/laduni atau wahyu. Ia dianugerahkan Allah hanya kepada orang-orang
 saleh yangdikehendaki-Nya.
3. Ayat yang berbunyi: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
 kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” menunjukkan cara
mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau
 pendidik, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa dimana beliau
menggunakan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta
 pendapat.
Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat
adalah yang dapat membawa pemiliknya kepada kebaikan. Sedangkan ilmu
yang tidak seperti itu, boleh jadi hanya akan menimbulkan madharat atau
tidak membawa kebaikan. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat tadi:
“Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu.”
4. Ayat: “Dan bagaimana kamu dapat bersabar terhadap sesuatu yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” Mengajarkan
kepada kita, bahwa seseorang yang tidak sanggup bersabar dalam menyertai
 guru atau pendidiknya, atau tidak memiliki kekuatan untuk tetap teguh
dalam menempuh jalan mencari ilmu, maka dia bukanlah termasuk orang yang
 dikatakan pantas untuk menerima ilmu.
5. Ayat yang bebunyi: “Insya Allah engkau akan dapati aku sebagai
seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu
urusanpun.” Mengajarkan kepada kita agar selalu berhati-hati dan teliti
serta tidak terburu-buru menghukumi suatu permasalahan sampai yang
diinginkan atau yang dimaksud benar-benar jelas. Selain itu, ia juga
menjelaskan bahwa jika seorang pendidik melihat adanya kebaikan dengan
menerangkan kepada muridnya agar tidak bertanya tentang suatu
permasalahan hingga dia (pendidik itu) sendiri yang menerangkan masalah
itu kepadanya (maka hendaknya dia lakukan). Dan sesungguhnya
kemaslahatan itu senantiasa mengikuti. Sebagaimana halnya bila seorang
murid mempunyai pemahaman kurang sempurna, hendaknya guru melarang
muridnya memberatkan diri untuk meneliti suatu permasalahan sedemikian
rupa dan bertanya tentang persoalan yang tidak ada kaitannya dengan
topik yang diajarkan.
6. Penegakkan hukum berlaku secara lahiriah. Hal ini terlihat dalam
tindakan nabi Musa As. yang memprotes Nabi Khidir, karena dalam
pandnagan Nabi Musa, bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar