SHALAT
A.SYARAT-SYARAT
SHALAT
1. Masuknya waktu shalat
Asal pembahasan ini adalah firman Allah SWT. :
ان الصلا ة كا نت على المؤ منين كتا با مو قو تا
“sesungguhnya shalat itu waktunya ditentukan
atas orang-orang yang beriman” (QS. Al-Nisa’:103)
Kaum muslimin sepakat bahwa kewajiban shalat 5 kali itu
juga memiliki 5 waktu. Waktu-waktu tersebut juga merupakan syarat sahnya shalat
yang masuk dalam kategori waktu longgar dan utama. Namun demikian, mereka
berpendapat dalam masalah waktu longgar dan utama, yang dalam hal ini dibagi
menjadi 5 pembahasan :
1.Waktu shalat dhuhur
Fuqaha berpendapat bahwa permulaan waktu shalat dhuhur
yang sebelum masuk waktunya tidak boleh melakukan shalat adalah ketika
tergelincirnya matahari atau zawal.
Di dalam riwayat Abu Hanifah berpendapat bahwa akhir
waktu dhuhur adalah ketika panjang bayangan sama dengan benda itu, dan awal
waktu shalat ashar adalah ketika panjang bayangan sudah mencapai dua kali
panjang benda itu, sedang waktu diantara waktu tersebut tidak bisa dipakai untuk
melaksanakan waktu shalat dhuhur. Pendapat terakhir ini ditemukan oleh dua
murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad.
Sedangkan Imam Malik dan Syafi’i berpegang pada hadits
Jibril. Yang isinya kurang lebih Jibril pernah shalat bersama Rasullulah saw
ketika sholat pada hari pertama keadaan matahari tergelincir dan pada hari
kedua ketika bayangan benda sama dengan panjang benda itu, maka ditarik
kesimpulan bahwa shalat dhuhur ada diantara dua waktu tersebut.
2. Waktu shalat ashar
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai waktu shalat
ashar, yaitu adanya kesamaan antara permulaan waktu ashar dan akhir waktu
shalat dhuhur dan mengenai akhir shalat ashar.
Menurut Malik, Syafi’i, Dawud, dan para fuqaha yang
lainnya sepakat bahwa permulaan waktu ashar itu juga merupakan akhir waktu
dhuhur, yaitu ketika bayangan suatu benda panjangnya sama dengan benda itu.
Tetapi, menurut Malik, akhir waktu dhuhur dan permulaan waktu ashar itu
bersamaan untuk mengerjakan shalat 4 rakaat. Menurut Syafi’i, Abu Tsaur, dan
Dawud akhir waktu dhuhur adalah awal waktu shalat ashar, dan merupakan waktu
yang tidak bisa dipisahkan.
Sedang menurut Abu Hanifah, permulaan waktu ashar adalah
jika panjang suatu bayangan sama panjang dengan benda itu.
Penyebab perbedaan pendapat antara Malik dan Syafi’i,
termasuk pengikutnya, adalah adanya suatu pertentangan pengertian hadits Jibril
dengan hadits Abdullah bin Umar. Di dalam hadits Jibril dikatakan bahwa ia
mengimami shalat dhuhur bersama Nabi Saw. pada hari kedua disyariatkannya
shalat, tepat pada waktu shalat ashar pada hari sebelumnya.
Perbedaan pendapat fuqaha dalam menentukan akhir waktu
shalat ashar, ada dua riwayat dari Malik. Pertama, akhir waktu shalat ashar
adalah jika panjang bayangan suatu benda dua kali panjang benda itu. Dan
pendirian seperti itu juga dikemukakan oleh Syafi’i. Kedua, akhir waktu shalat
ashar adalah selama warna matahari belum nampak kuning. Dan pendirian ini juga
dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal.
3Waktu shalat maghrib
Para fuqaha berbeda pendapat tentang waktu shalat maghrib.
Sebagian fuqaha berbeda bahwa shalat maghrib memiliki waktu leluasa, yakni
antara terbenamnya matahari dengan lenyapnya syafaq (pantuan sinar/mendung berwarna merah). Pendapat ini
disampaikan oleh Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan Dawud yang diriwayatkan oleh Malik
dan Syafi’i. Sebab-sebab perselisihan pendapat di kalangan fuqaha itu adalah
pertentangan maksud antara hadits Jibril, ketika menjadi imam shalat dengan
hadits Abdullah bin Umar.
Fuqaha yang beranggapan hadist Jibril lebih kuat
berkesimpulan bahwa hanya ada satu waktu dalam waktu sholat Maghrib. Sedangkan
fuqaha yang menekan hadist Abdullah bin Umar berkesimpulan adanya waktu leluasa
untuk waktu Maghrib. Hadis Abdullah bin Umar lebih kuat kedudukannya
dibandingkan dengan hadis Jibril. Dikarenakan hadis Abdullah diriwayatkan oleh
Muslim, sedang hadis Jibril tidak riwayatkan baik Bukhori ataupun Muslim.
4. Waktu sholat Isya’
Para Ahli fiqih
berbeda pendapat mengenai waktu sholat Isya’, yaitu permulaan dan akhir waktu
Isya’.
Menurut Malik, Syafi’i dan sekelompok ahli fiqih yang lain, waktu sholat Isya
adalah mulai hilangnya sinar merah. Sedang menurut pendapat Abu Hanifah,
permulaan waktu shalat Isya’ mulai hilangnya sinar putih yang muncul setelah
sinar merah.
Mengenai akhir waktu shalat Isya’, pendapat para ahli fiqih terbagi menjadi tiga
pendapat. Pertama, batas akhir waktu
shalat Isya’ adalah sepertiga malam. Kedua,
batas akhir shlat Isya’ adalah sampai pertengahan malam. Ketiga, sampai terbit fajar.
Pendapat pertama dipegangi oleh Syafi’i dan Abu Hanifah
dan menjadi pendirian yang terkenal dilingkungan madzab Maliki. Sedangkan
pendapat kedua, dikemukakan oleh Malik. Dan pendapat ketiga disampaikan oleh
Dawud.
5.Waktu shalat subuh
Para ahli fiqih sepakat
bahwa permulaan waktu subuh adalah ketika terbit fajar shadiq. Sedangkan akhir waktunya adalah terbitnya matahari. Kecuali
riwayat Ibnu Qosim dan beberapa ahli fiqih
Syafi’iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu sholat Subuh adalah
sampai tampaknya sinar matahari.
2.Menghadap
kiblat
Umat islam sepakat bahwa menghadap kiblat merupakan
salah satu syarat sahnya sholat, berdasarkan firman Allah
Jika orang itu mungkin menatap Ka’bah, maka orang itu
diharuskan menghadap bangunan Ka’bah itu. Masalah ini sudah menjadi kesepakatan
fuqaha yang tak perlu diperdebatkan
lagi. Namun, jika Ka’bah tidak tampak oleh mata manusia, para fuqaha berbeda dalam dua permasalahan.
Pertama,kewaiban meyangkut menghadap bangunan Ka’bah atau hanya cukup
arahnya saja.
Kedua, kewajiban itu persis mengarah ke kiblat, atau mengarah semaksimal
mungkin ke kiblat atau bangunan Ka’bah. Ini bagi orang yang berpendapat
mengarahkan ke bangunan ka’bah.
3.Menutup aurat
1.Batasan aurat lelaki
Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i berpendapat bahwa
batasan aurat lelaki adalah pusar hingga lutut. Sedangkan sebagian fuqaha lainnya berpendapat bahwa batasan
aurat lelaki adalah dubur dan alat kelamin.
Pendirian pendapat tersebut terjadi karena pertentangan
dua hadis yang sama shohihnya
2.Batasan aurat wanita
Batasan aurat wanita adalah seluruh anggota badannya,
kecuali muka dan telapak tangan. Itulah pendirian jumhur fuqaha.
Malik berpendapt bahwa kaki wanita bukanlah aurat.
3.Ukuran pakaian untuk sholat.
Asal kajian tentang pakaian ini adalah firman Allah:
Para fuqaha
sepakat bahwa model pakaian yang tidak boleh dipakai dalam solat misalnya
pakaian minim yang tidak bisa menutp aurat, masih membentuk lekuk tubuh,
terawang, dan sejenisnya.
Para fuqaha berselisih
pendapat mengenai lelaki yang solat terlihat perutnya atau punggungnya. Ada
yang berpendapat bahwa hal tersebut tak masalah. Dikarenakan, punggu dan perut
laki-laki bukan lah aurat.
Sekelompok fuqaha lain
berpendapat bahwa mengenakan pakaian seperti itu tidaklah diperbolehkan,
lantaran Rasulullah SAW, melarang seseorang salat dengan satu kain, sebab tidak
cukup menutup pundaknya.
4.Suci dari najis
Bagi para fuqaha yang
berpendapat bahwa suci itu hanya sekedar sunat muakkad, pasti tidak akan mengatakan bahwa suci dari najis itu
termasuk salah satu syarat sahnya sholat. Sedangkan para fuqaha yang berpendapat bahwa suci dari najis termasuk syarat
sahnya sholat berpegang pada prinsip yaitu, bahwa membersihakan diri dari najis
merupakan fardhu bagi orang yang sadar dan mempunyai kemampuan. Salah satu
mazhab yang menganut paham seperti ini adalah satu mazhab yang menganut paham
seperti ini adalah mazhab Maliki.
5.Tempat
mengerjakan sholat
Sebagian fuqaha memperbolehkan
melakukan sholat disemua tempat yang tidak terkena najis. Sedangkan yang
lainnya melarang untuk mengerjakan sholat di tujuh tempat: tempat kotoran
(sampah dan lain-lain), tempat menyembelih binatang, kuburan, jalan raya,
kadang unta, dan diatas/atap Ka'bah.
makruh, dan sholatnya tidak batal. Dan untuk masalah
sholat didalam gereja dan tempat ibadah lainnya yang bukan masjid ada yang
berpendapat mubah dan makruh. Salah satu yang berpendapat
bahwa solat didalam gereja itu makruh adalah Ibnu Abbas yang berdasarkan
pernyataan Umar bin Khathtab:
" Jangan kamu
memasuki gereja-gereja mereka (lantaran) untuk melihat gambar (patung) "
Bagi fuqaha yang
menghukumi makruh beralasan tempat- tempat tersebut dinilai najis, bukan karena
gambarnya.
6.Islam
7.Baligh
8.Berakal
9.Mumayyiz
Sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
salah.
B.RUKUN-RUKUN SHALAT
1.Niat
semua ulama mazhab sepakat
bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. Ibnu Qayyim
berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid
pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi
Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar”
dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama
sekali.
2Takbiratul Ihram
Shalat tidak akan sempurna
tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw :
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya
(dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat)adalah
takbir,dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali:
kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh
menggunakan kata-kata lainnya.
Syafi’i: boleh mengganti
“Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata
“Akbar''.
Hanafi: boleh dengan
kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti
“Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang
Maha Mulia).
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam(bukan orang Arab).
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam(bukan orang Arab).
Hanafi : Sah
mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa
Arab.
Semua ulama mazhab sepakat: syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
Semua ulama mazhab sepakat: syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
3.Berdiri
Semua ulama mazhab sepakat
bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram
sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila
tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti
letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan
badannya, menurutkesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi
berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan
menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud
tetap menghadap kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut
Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke
kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau
dengan kelopak matanya.
Hanafi: bila sampai pada
tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia
harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu
yang menghalanginya.
Maliki: bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
Maliki: bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
4.Bacaan
Ulama mazhab berbeda
pendapat tentang masalah bacaan sholat.
Hanafi: membaca Al-Fatihah
dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran
itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat al muzammil ayat 11 yang artinya:
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,”
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,”
Boleh meninggalkan
basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan
membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih
apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh
orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan
sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya.
Membaca qunut hanya pada saat sholat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan
wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang
kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan
bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
Syafi’i : membaca
Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua
rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun
shalat sunnah.Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh
ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada
shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain
rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat subuh disunnahkan
membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat
kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca
Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan
bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama
adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya
yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.
Maliki : membaca
Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada
rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat
fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan
membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan
termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan
menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib
dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan
kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada
shalat fardhu.
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5.Ruku'
Semua ulama mazhab
sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda
pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni
ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
Hanafi : yang
diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak
wajibthuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak
tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan
ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’.
Syafi’i,
Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya
disunnahkan saja mengucapkannya.
Hambali :
membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib.
Hanafi : tidak wajib
mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan
berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu
makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan
ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’.
6.Sujud
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi :
yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya
adalah sunnah.
Hambali : yang
diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut,
dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi
hidung, sehingga menjadi delapan.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.
7.Tahiyyat
Tahiyyat di dalam shalat
dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua
rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri
dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam,
baik pada shalat yang dua rakaat, tigaHambali : tahiyyat pertama
itu wajib.Mazhab-mazhab lain: hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir
adalah wajib.Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib., atau empat
rakaat.
8.Mengucapkan salam
Syafi’i, Maliki,dan
Hambali:mengucapkan salam adalah wajib.Hanafi: tidak wajib. Menurut empat
mazhab, kalimatnya sama yaitu
Assalaamu’alaikum
warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan
rahmat Allah tercurah kepada kalian”
Hambali: wajib mengucapkan
salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang
wajib
9.Tertib
Melakukannya secara berurutan.
C.MASALAH
JAMA' DALAM SHOLAT
a.Jama'
Menjama' sholat bisa dilakukan untuk
empat-sholat, yaitu zuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya'. Menjama'
sholat dapat dilakukan ketika seseorang dalam beberapa keadaan yaitu:
1.Berpergian .
2.Orang yang sholat berjama'ah di
masjid pada waktu sholat maghrib dan isya' dalam keadaan hujan.
3.Orang yang sakit dan ditakutkan pingsan atau koma.
4.Orang yang sedang berperang.
Menjama' sholat dilakukan pada waktu
sholat yang pertama yang disebut jama'
taqdim atau dilaksanakan pada waktu sholat yang kedua yang disebut jama' takhir.
b. Qoshor
Mempersedikit jumlah raka'at sholat
yang empat menjadi dua. Mengqoshor
sholat hanya dapat dilakukan pada sholat yang berjumlah raka'at empat, pada
sholat maghrib dan shubuh tidak dapat diqoshor.
Hukum qoshor adalah disyari'at kan
menurut sebagian ulama. Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah
bahwa hukumnya fardu ‘ain. Menurut sebagian pengikut Syafi’i boleh dipilih antar qoshor atau tidak, nilainya sama.
Menurut Malik hukumnya sunah. Menurut Syafi’i bahwa qoshor itu dispensasi jadi lebih diutamakan untuk tidak mengqhosor.
Mengqoshor sholat dapat dilakukan ketika seseorang dalam keadaan
berpergian yang jaraknya kira-kira 48 mil.
]Para ulama berbeda pendapat tentang masalah waktu
seseorang boleh melakukan qoshor.
Menurut Maliki dan Syafi’i bahwa kalau musafir suda berniat untuk menetap
selama empat hari, maka sholatnya tanpa qoshor.
Abu hanifah dan Sufyan Tsauri apabila sudah berniat menetap lebih dari lima
hari, maka sholatnya tanpa qoshor.
D.HAL-HAL
YANG MEMBATALKAN SHOLAT
1.Meninggalkan
rukun dari rukun-rukun sholat.
2.Makan atau
minum.
3.Berbicara
bukan untuk membenarkan imam. Apabila berkata untuk membenarkan imam yang lupa
atau salah dalam membaca bacaan sholat, hal tersebut diperbolehkan.
4.Tertawa, dan
tetawanya tersengal belum sampai tersenyum.para ulama sudah bersepakat bahwa
tertawa dapat membatalkan sholat. Sebagian ahli ilmu berpendapat seseorang yang
batal sholatnya haus menguang wudhu nya.
5.Terlalu
banyak melakukan gerakan, memikirkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan
sholat.
6.Melebih-lebihkan
jumlah roka’at sholat, contohnya, sholat dhuhur delapan rokaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar