Kamis, 12 September 2013

FIQH IBADAH



SHALAT

A.SYARAT-SYARAT SHALAT
1. Masuknya waktu shalat
Asal pembahasan ini adalah firman Allah SWT. :
ان الصلا ة كا نت على المؤ منين كتا با مو قو تا
sesungguhnya shalat itu waktunya ditentukan atas orang-orang yang beriman” (QS.  Al-Nisa’:103)
Kaum muslimin sepakat bahwa kewajiban shalat 5 kali itu juga memiliki 5 waktu. Waktu-waktu tersebut juga merupakan syarat sahnya shalat yang masuk dalam kategori waktu longgar dan utama. Namun demikian, mereka berpendapat dalam masalah waktu longgar dan utama, yang dalam hal ini dibagi menjadi 5 pembahasan :
1.Waktu shalat dhuhur
Fuqaha berpendapat bahwa permulaan waktu shalat dhuhur yang sebelum masuk waktunya tidak boleh melakukan shalat adalah ketika tergelincirnya matahari atau zawal.
Di dalam riwayat Abu Hanifah berpendapat bahwa akhir waktu dhuhur adalah ketika panjang bayangan sama dengan benda itu, dan awal waktu shalat ashar adalah ketika panjang bayangan sudah mencapai dua kali panjang benda itu, sedang waktu diantara waktu tersebut tidak bisa dipakai untuk melaksanakan waktu shalat dhuhur. Pendapat terakhir ini ditemukan oleh dua murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad.
Sedangkan Imam Malik dan Syafi’i berpegang pada hadits Jibril. Yang isinya kurang lebih Jibril pernah shalat bersama Rasullulah saw ketika sholat pada hari pertama keadaan matahari tergelincir dan pada hari kedua ketika bayangan benda sama dengan panjang benda itu, maka ditarik kesimpulan bahwa shalat dhuhur ada diantara dua waktu tersebut.
2. Waktu shalat ashar
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai waktu shalat ashar, yaitu adanya kesamaan antara permulaan waktu ashar dan akhir waktu shalat dhuhur dan mengenai akhir shalat ashar.
Menurut Malik, Syafi’i, Dawud, dan para fuqaha yang lainnya sepakat bahwa permulaan waktu ashar itu juga merupakan akhir waktu dhuhur, yaitu ketika bayangan suatu benda panjangnya sama dengan benda itu. Tetapi, menurut Malik, akhir waktu dhuhur dan permulaan waktu ashar itu bersamaan untuk mengerjakan shalat 4 rakaat. Menurut Syafi’i, Abu Tsaur, dan Dawud akhir waktu dhuhur adalah awal waktu shalat ashar, dan merupakan waktu yang tidak bisa dipisahkan.
Sedang menurut Abu Hanifah, permulaan waktu ashar adalah jika panjang suatu bayangan sama panjang dengan benda itu.
Penyebab perbedaan pendapat antara Malik dan Syafi’i, termasuk pengikutnya, adalah adanya suatu pertentangan pengertian hadits Jibril dengan hadits Abdullah bin Umar. Di dalam hadits Jibril dikatakan bahwa ia mengimami shalat dhuhur bersama Nabi Saw. pada hari kedua disyariatkannya shalat, tepat pada waktu shalat ashar pada hari sebelumnya.
Perbedaan pendapat fuqaha dalam menentukan akhir waktu shalat ashar, ada dua riwayat dari Malik. Pertama, akhir waktu shalat ashar adalah jika panjang bayangan suatu benda dua kali panjang benda itu. Dan pendirian seperti itu juga dikemukakan oleh Syafi’i. Kedua, akhir waktu shalat ashar adalah selama warna matahari belum nampak kuning. Dan pendirian ini juga dikemukakan oleh Ahmad bin Hanbal.
3Waktu shalat maghrib
Para fuqaha berbeda pendapat tentang waktu shalat maghrib. Sebagian fuqaha berbeda bahwa shalat maghrib memiliki waktu leluasa, yakni antara terbenamnya matahari dengan lenyapnya syafaq (pantuan sinar/mendung berwarna merah). Pendapat ini disampaikan oleh Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan Dawud yang diriwayatkan oleh Malik dan Syafi’i. Sebab-sebab perselisihan pendapat di kalangan fuqaha itu adalah pertentangan maksud antara hadits Jibril, ketika menjadi imam shalat dengan hadits Abdullah bin Umar.
Fuqaha yang beranggapan hadist Jibril lebih kuat berkesimpulan bahwa hanya ada satu waktu dalam waktu sholat Maghrib. Sedangkan fuqaha yang menekan hadist Abdullah bin Umar berkesimpulan adanya waktu leluasa untuk waktu Maghrib. Hadis Abdullah bin Umar lebih kuat kedudukannya dibandingkan dengan hadis Jibril. Dikarenakan hadis Abdullah diriwayatkan oleh Muslim, sedang hadis Jibril tidak riwayatkan baik Bukhori ataupun Muslim.
4. Waktu sholat Isya’
Para Ahli fiqih berbeda pendapat mengenai waktu sholat Isya’, yaitu permulaan dan akhir waktu Isya’.
Menurut Malik, Syafi’i dan sekelompok ahli fiqih yang lain, waktu sholat Isya adalah mulai hilangnya sinar merah. Sedang menurut pendapat Abu Hanifah, permulaan waktu shalat Isya’ mulai hilangnya sinar putih yang muncul setelah sinar merah.
Mengenai akhir waktu shalat Isya’, pendapat para ahli fiqih  terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama, batas akhir waktu shalat Isya’ adalah sepertiga malam. Kedua, batas akhir shlat Isya’ adalah sampai pertengahan malam. Ketiga, sampai terbit fajar.
Pendapat pertama dipegangi oleh Syafi’i dan Abu Hanifah dan menjadi pendirian yang terkenal dilingkungan madzab Maliki. Sedangkan pendapat kedua, dikemukakan oleh Malik. Dan pendapat ketiga disampaikan oleh Dawud.
5.Waktu shalat subuh
Para ahli fiqih sepakat bahwa permulaan waktu subuh adalah ketika terbit fajar shadiq. Sedangkan akhir waktunya adalah terbitnya matahari. Kecuali riwayat Ibnu Qosim dan beberapa ahli fiqih Syafi’iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu sholat Subuh adalah sampai tampaknya sinar matahari.
2.Menghadap kiblat
Umat islam sepakat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya sholat, berdasarkan firman Allah
Jika orang itu mungkin menatap Ka’bah, maka orang itu diharuskan menghadap bangunan Ka’bah itu. Masalah ini sudah menjadi kesepakatan fuqaha yang tak perlu diperdebatkan lagi. Namun, jika Ka’bah tidak tampak oleh mata manusia, para fuqaha berbeda dalam dua permasalahan.
Pertama,kewaiban meyangkut menghadap bangunan Ka’bah atau hanya cukup arahnya saja.
Kedua, kewajiban itu persis mengarah ke kiblat, atau mengarah semaksimal mungkin ke kiblat atau bangunan Ka’bah. Ini bagi orang yang berpendapat mengarahkan ke bangunan ka’bah.
3.Menutup aurat
1.Batasan aurat lelaki
Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i berpendapat bahwa batasan aurat lelaki adalah pusar hingga lutut. Sedangkan sebagian fuqaha lainnya berpendapat bahwa batasan aurat lelaki adalah dubur dan alat kelamin.
Pendirian pendapat tersebut terjadi karena pertentangan dua hadis yang sama shohihnya
2.Batasan aurat wanita
Batasan aurat wanita adalah seluruh anggota badannya, kecuali muka dan telapak tangan. Itulah pendirian jumhur fuqaha.
Malik berpendapt bahwa kaki wanita bukanlah aurat.
3.Ukuran pakaian untuk sholat.
Asal kajian tentang pakaian ini adalah firman Allah:
Para fuqaha sepakat bahwa model pakaian yang tidak boleh dipakai dalam solat misalnya pakaian minim yang tidak bisa menutp aurat, masih membentuk lekuk tubuh, terawang, dan sejenisnya.
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai lelaki yang solat terlihat perutnya atau punggungnya. Ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tak masalah. Dikarenakan, punggu dan perut laki-laki bukan lah aurat.
Sekelompok fuqaha lain berpendapat bahwa mengenakan pakaian seperti itu tidaklah diperbolehkan, lantaran Rasulullah SAW, melarang seseorang salat dengan satu kain, sebab tidak cukup menutup pundaknya.
4.Suci dari najis
Bagi para fuqaha yang berpendapat bahwa suci itu hanya sekedar sunat muakkad, pasti tidak akan mengatakan bahwa suci dari najis itu termasuk salah satu syarat sahnya sholat. Sedangkan para fuqaha yang berpendapat bahwa suci dari najis termasuk syarat sahnya sholat berpegang pada prinsip yaitu, bahwa membersihakan diri dari najis merupakan fardhu bagi orang yang sadar dan mempunyai kemampuan. Salah satu mazhab yang menganut paham seperti ini adalah satu mazhab yang menganut paham seperti ini adalah mazhab Maliki.
5.Tempat mengerjakan sholat
Sebagian fuqaha memperbolehkan melakukan sholat disemua tempat yang tidak terkena najis. Sedangkan yang lainnya melarang untuk mengerjakan sholat di tujuh tempat: tempat kotoran (sampah dan lain-lain), tempat menyembelih binatang, kuburan, jalan raya, kadang unta, dan diatas/atap Ka'bah.
makruh, dan sholatnya tidak batal. Dan untuk masalah sholat didalam gereja dan tempat ibadah lainnya yang bukan masjid ada yang berpendapat mubah dan makruh. Salah satu yang berpendapat bahwa solat didalam gereja itu makruh adalah Ibnu Abbas yang berdasarkan pernyataan Umar bin Khathtab:

" Jangan kamu memasuki gereja-gereja mereka (lantaran) untuk melihat gambar (patung) "
Bagi fuqaha yang menghukumi makruh beralasan tempat- tempat tersebut dinilai najis, bukan karena gambarnya.
6.Islam
7.Baligh
8.Berakal
9.Mumayyiz
Sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang salah.
B.RUKUN-RUKUN SHALAT
1.Niat
semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.
2Takbiratul Ihram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :
Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain  perbuatan-perbuatan shalat)adalah takbir,dan penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali: kalimat takbiratul ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
Syafi’i: boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar''.
Hanafi: boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam(bukan orang Arab).
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat: syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
3.Berdiri
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurutkesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
Hanafi: bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
Maliki: bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
Syafi’i dan Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
4.Bacaan
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang masalah bacaan sholat.
Hanafi: membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat al muzammil ayat 11 yang artinya:
Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,”
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Membaca qunut hanya pada saat sholat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah.Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu.
Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar. Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5.Ruku'
Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajibthuma’ninah. Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’.
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkannya.
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib.
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri).  Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’.
6.Sujud


Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.


Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya
adalah sunnah.
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud.
7.Tahiyyat
Tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tigaHambali : tahiyyat pertama itu wajib.Mazhab-mazhab lain: hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib.Maliki dan Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib., atau empat rakaat.
8.Mengucapkan salam
Syafi’i, Maliki,dan Hambali:mengucapkan salam adalah wajib.Hanafi: tidak wajib. Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”
Hambali: wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib
9.Tertib
Melakukannya secara berurutan.
C.MASALAH JAMA' DALAM SHOLAT
a.Jama'
Menjama' sholat bisa dilakukan untuk empat-sholat, yaitu zuhur  dengan ashar dan maghrib dengan isya'. Menjama' sholat dapat dilakukan ketika seseorang dalam beberapa keadaan yaitu:
1.Berpergian .
2.Orang yang sholat berjama'ah di masjid pada waktu sholat maghrib dan isya' dalam keadaan hujan.
3.Orang yang sakit dan ditakutkan pingsan atau koma.
4.Orang yang sedang berperang.
Menjama' sholat dilakukan pada waktu sholat yang pertama yang disebut jama' taqdim atau dilaksanakan pada waktu sholat yang kedua yang disebut jama' takhir.
b. Qoshor
Mempersedikit jumlah raka'at sholat yang empat menjadi dua. Mengqoshor sholat hanya dapat dilakukan pada sholat yang berjumlah raka'at empat, pada sholat maghrib dan shubuh tidak dapat diqoshor. Hukum qoshor adalah disyari'at kan menurut sebagian ulama. Menurut Abu Hanifah dan pengikutnya serta ulama Kufah bahwa hukumnya fardu ‘ain. Menurut sebagian pengikut Syafi’i boleh dipilih antar qoshor atau tidak, nilainya sama. Menurut Malik hukumnya sunah. Menurut Syafi’i bahwa qoshor itu dispensasi jadi lebih diutamakan untuk tidak mengqhosor.
Mengqoshor sholat dapat dilakukan ketika seseorang dalam keadaan berpergian yang jaraknya kira-kira 48 mil.
]Para ulama berbeda pendapat tentang masalah waktu seseorang boleh melakukan qoshor. Menurut Maliki dan Syafi’i bahwa kalau musafir suda berniat untuk menetap selama empat hari, maka sholatnya tanpa qoshor. Abu hanifah dan Sufyan Tsauri apabila sudah berniat menetap lebih dari lima hari, maka sholatnya tanpa qoshor.
D.HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT
1.Meninggalkan rukun dari rukun-rukun sholat.
2.Makan atau minum.


3.Berbicara bukan untuk membenarkan imam. Apabila berkata untuk membenarkan imam yang lupa atau salah dalam membaca bacaan sholat, hal tersebut diperbolehkan.


4.Tertawa, dan tetawanya tersengal belum sampai tersenyum.para ulama sudah bersepakat bahwa tertawa dapat membatalkan sholat. Sebagian ahli ilmu berpendapat seseorang yang batal sholatnya haus menguang wudhu nya.


5.Terlalu banyak melakukan gerakan, memikirkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan sholat.


6.Melebih-lebihkan jumlah roka’at sholat, contohnya, sholat dhuhur delapan rokaat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar